Skizofrenia
“Ayra Faristha Elzira, silakan kamu maju ke depan!”
Tubuhku tersentak kaget. Suara genderang bertalu-talu yang memekakkan telingaku, lenyap seketika. Tragedi berdarah yang menyiksa otakku, seketika terhenti. Dan berganti dengan cerita lain seperti kepingan kaset yang memutar di memoriku.
“Jangan maju, nanti kamu akan dipermalukan.”
“Kamu itu bodoh! Nggak pantas sekolah di SMA se-elite ini.”
“Masa soal semudah ini nggak bisa jawab, kamu itu bodoh apa idiot!?!”
Tubuhku menggigil seketika. Keringat dingin membasahi telapak tanganku. Aliran darahku merambat bak kecepatan kuda yang tengah berperang di medan laga. Sangat cepat. Membuat napasku terengah-engah, seperti orang yang tengah lari maraton 100 km.
Bibirku pucat pasi. Tenggorokanku serasa tercekat. Oksigen seraya sangat sulit kudapat. Aku meremas ujung bajuku, takut. Di sisi lain, tragedi berdarah itu kembali memutar di kepalaku. Seorang tentara yang membawa pistol sebesar gitar itu, mengarahkannya padaku. Semakin mendekat ke arahku, dan bersiap-siap membidik sasarannya.
Dorrr
“Aaagghhhh ....”
Tubuhku beranjak dari tempat dudukku. Dengan kedua tangan yang menutup kasar telingaku, aku memejamkan mata dan berteriak sekeras mungkin. Mencoba mencari perlindungan. Namun, hidungku mencium anyir bau darah yang mungkin, sudah mengalir dari kepalaku, karena tembakan tentara tak kukenal itu.
Kepalaku serasa berat. Bagaikan dijatuhi sebuah bogem yang terbuat dari besi. Semakin kumencoba untuk menahan diri, rasa sakit itu semakin sakit kurasa. Sebelum akhirnya, hanya gelaplah yang tersisa.
“Aldi, cepat bawa Ayra ke UKS.” Samar-samar, aku mendengar suara yang tidak asing lagi di telingaku. Ya. Itu suara Bu Anggi, guru Fisika di kelasku. Kenapa Bu Anggi bisa terlibat dengan tentara kejam itu?
***
“Bu, apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayra?” Alnira, perempuan berusia kepala empat itu, terlihat panik ketika melihat anak gadisnya kembali terbujur di ruang UKS untuk kesekian kalinya selama satu minggu ini.
“Saya sendiri juga bingung, Bu. Tadi, ketika saya menyuruh Ayra maju ke depan mengerjakan tugas. Tiba-tiba dia memejamkan mata, kaya orang ketakutan. Dia juga berbicara dengan dirinya sendiri. Persis seperti orang mengigau. Nggak hanya itu, tiba-tiba tadi dia berteriak sebelum akhirnya pingsan. Saya bingung dengan perubahan Ayra beberapa hari ini. Apa ada masalah di rumah?”
Alnira menggelengkan kepalanya, bingung. Dengan isak tangis yang masih menemaninya, Alnira kembali bercerita. “Sebenarnya ... tiga bulan yang lalu, saya cerai dengan suami saya. Papa Ayra. Kita memutuskan bercerai, karena sudah tidak ada kecocokan lagi di antara kami. Semenjak itu, Alnira selalu murung. Dan saya juga sering melihat Ayra di bully teman-temannya karena broken home, hiks ....” Bu Anggi menitikkan air matanya. Mencoba menggenggam tangan Alnira, bermaksud menenangkannya.
“Jadi maksud Ibu, perubahan Ayra terjadi karena pem-bully-an?” ujar Bu Anggi yang dijawabi anggukan kepala oleh Alnira, ibu Ayra.
Bu Anggi menarik napasnya kasar. Memejamkan matanya dalam-dalam, dan kembali mengingat sosok cerdas Ayra. Yang selalu tanggap menjawab soal dan aktif ketika sesi tanya jawab berlangsung. “Dokter juga mendiagnosa Ayra, hiks ... hiks ... hiks ... Ayra terkena Skizofrenia. Penyakit yang menggaggu proses berpikirnya dan mengakibatkannya halu disetiap tindakannya. Dan ini ... hiks ... hiks ... efek dari bullying itu, Bu.” Bu Anggi kembali menggenggam tangan Alnira. Dan sesekali mengusap punggungnya. Mencoba menenangkan wali dari murid kesayangannya itu.
***
Dip ... dip ... dip ...
Telingaku menangkap suara pijakan kaki yang semakin mendekat. Akankah tentara kejam itu akan membunuhku karena aku tidak bisa memecahkan soal hitung yang diberikannya? Aku membungkus seluruh tubuhku dengan selimut. Menggenggam erat sebuah bantal yang bisa menyalurkan ketakutanku.
Dip ... dip ... dip ...
Suara itu semakin mendekat. Tubuhku kembali beringsut mundur. Bulir-bulir keringat sebijih jagung kembali membasahi keningku. Aku menyekanya dengan kasar. Sebelum akhirnya knop pintu bercat putih itu terbuka dan menampakkan dua sosok yang mendekat ke arahku.
“Agghhh ... pergiii ... pergiiii ... pergi kalian dari sini. Aku hiks ... hiks ... aku tidak bodoh! Aku tidak idiot! Aku tidak gila! Keluargaku tidak hancur seperti yang kalian kira! Tidakkkk itu tidak benarrrr. Hiks ... hiks ... hiks ....” Aku melempar kasar bantal dan selimut yang ada di sekitarku kepada dua sosok menakutkan itu. Tidak! Mereka bohong! Mama dan Papaku tidak bercerai! Aku bukan anak broken home! Mereka bohong! Mereka bohonggg!?!
“Ayra ... tenanglah sayang, ini Mama. Hiks ... hiks ... hiks ....”Sebuah usapan lembut kurasa menyentuh puncak rambutku. Hatiku kembali tenang. Namun, mataku kembali takut untuk melihat siapa gerangan yang sudah memberiku ketenangan ini.
“Jangan membuka mata, dia akan membunuhmu.”
“Jangan membuka mata, dia akan kembali mengataimu anak broken home yang idiot.”
“Jangan membuka mata, atau kau akan menyesal seumur hidupmu.”
“Agghhh ... hiks ... hiks ... hiks ....” Aku kembali menangis dan berteriak sekeras mungkin tatkala suara-suara itu kembali membisikiku. Aku lelah dengan semua ini. Aku ingin hidup dengan tenang. Aku tidak ingin hidup berbayang-bayang luka dan derita seperti ini. Tuhan ... tolonglah hamba.
“Ay, bukalah matamu sayang. Lawanlah halusinasi buruk yang selalu membisikimu. Ingatlah, Allah selalu bersama kita. Kamu tidak sendiri sayang. Kamu tidak sendiri, hiks ... hiks ... Mama selalu ada buat kamu, Ay ... Mama sayang sama Ayra.”
Cup
Tess ...
Air mata ini kembali menetes. Tatkala kurasakan kecupan hangat dari bibir Mama yang mendarat ke keningku. Aku melihat semuanya. Mama yang memelukku dengan hangatnya, seakan mengatakan kepada seluruh dunia bahwa akulah segalanya, dan Mama tidak ingin kehilanganku. Juga Bu Anggi yang duduk di sebelah kiriku dan mengusap puncak kepalaku, dengan air mata yang beruraian.
“Ayra ... hiks ... hiks ... hiks ... maafin aku dan Anjani, ya ... sebagai sahabat, bukannya kita menguatkanmu. Tapi kita malah buat kamu jadi gini. Aku sedih lihat kamu gini, Ay. Aku kehilangan sahabatku yang ceria dan suka nyinyir kaya dulu lagi.” Kulihat Diandra yang tiba-tiba datang dan memelukku. Anjani juga ikut turut di belakangnya. Sembari membawa buah pisang kesukaanku.
“Ayra ... Maafin Jani juga ya ... Anjani udah nakal sama Ayra. Jadinya Ayra sedih. Ay nggak boleh sedih lag, dong. Nanti kita nggak dapat info nyinyir terbaru lagi. Ya nggak, Di?” pekik Anjani menggoda ke arah Diandra. Aku kembali mengulumkan senyumku. Ketika semua orang kembali menguatkanku. Di tengah kondisiku yang terpuruk.
“Apa kalian mau menerima penderita Skizofrenia kaya aku?” lirihku dengan air mata yang kembali mengalir. Mereka berdua mengangguk dengan cepat. Sebelum akhirnya berhambur ke dalam pelukanku.
TAMAT
***
Setelah membaca cerpen di atas, apa pelajaran yang bisa diambil? Komen di bawah yuk ....
Sumber Gambar : Theolivepress.es